Anik Juwariyah: Bermula dari Sanggar Tari Desa, Mengukir Jejak sebagai Profesor Seni Tari

Kecemedia,unesa.ac.id, Surabaya - Di balik senyum cerah dan percakapan yang santai, Prof. Dr. Anik Juwariyah, M.Si menyimpan perjalanan panjang yang menginspirasi. Perempuan asal Nganjuk ini telah membuktikan bahwa passion, kerja keras, dan dedikasi bisa mengantarkan seorang wanita dari sanggar tari kecil di desa menjadi Profesor seni tari di Universitas Negeri Surabaya (UNESA). Di bulan yang mengusung semangat Kartini ini, sosoknya menjadi bukti nyata bahwa perempuan bisa berprestasi tanpa meninggalkan rasa cintanya kepada budaya tradisional khususnya seni tari nusantara.
Dari Sanggar Tari ke Universitas
Anik kecil sudah akrab dengan dunia tari sejak SD. Setiap Minggu, ia bersepeda ontel sejauh 5 km ke sanggar tetangga desa, belajar menari dengan iringan gamelan langsung. "Waktu itu saya menari Tari Bondan yang sambil naik kendi itu. Rasanya senang sekali," kenangnya. Didikan orang tua yang memupuk bakatnya sejak dini membawanya ke Jurusan Seni Tari IKIP Surabaya (kini UNESA).
Meski sempat terhambat nilai praktik tari yang kalah dari lulusan SMKI, Anik menemukan jalannya di ranah teori dan penelitian. "Saya dapat C untuk Tari Surakarta, tapi di mata kuliah teori saya unggul," ujarnya. Konsistensinya membuahkan hasil: ia menyelesaikan S2 Kajian Budaya di Udayana sambil bolak-balik Surabaya-Bali untuk mengobati rasa kangen terhadap keluarga, lalu meraih gelar S3 di Unair dengan perjuangan 15 kali tes TOEFL sebagai syarat maju untuk proposal.
Mengabdi 33 Tahun: Mengajar, Meneliti, dan Berbudaya
Sejak menjadi dosen tahun 1992, Anik tak hanya mengajar tetapi juga aktif sebagai peneliti. Risetnya tentang Langen Tayub yaitu kesenian tradisional Jawa Timur yang berfokus pada peran Waranggono (penari Tayub) yang termasuk dalam jurnal Scopus Q1, menjadi salah satu yang paling berkesan selama karirnya. Karena penelitian tersebut yang mengantarkannya sebagai seorang profesor di bidang seni tari.
Di tengah kesibukannya, Anik menolak dikotomi "perempuan karir vs domestik". Ia bangga tetap memasak untuk keluarga, bahkan kerap membagikan foto masakannya di grup alumni. "Prinsip saya, jika bisa kerja sampai Maghrib, masak satu jam kenapa tidak?" tuturnya sambil tertawa.
Bagi Anik, Kartini adalah simbol keberanian mendobrak batas. Semangat itu ia tularkan kepada mahasiswanya. Ia juga mendorong kolaborasi antar generasi. Pesan Anik untuk perempuan muda, "Teruslah membaca, meneliti, dan berkarya. Jangan biarkan stereotip menghentikan langkahmu." Baginya, seperti gerakan tari yang mengalir, hidup adalah harmoni antara tradisi dan modernitas dimana perempuan bisa menari dipanggung akademik tanpa melepas identitasnya.
"Kartini mengajarkan kita untuk berani bersuara. Saya memilih menyuarakan seni tari lewat penelitian dan pengabdian," ujarnya. Di tangan profesor seperti Anik, warisan Kartini terus hidup: bukan hanya tentang emansipasi, tetapi juga tentang bermanfaat bagi sekitar.
Catatan:
Artikel ini merupakan bagian dari topik hari Kartini yang menyoroti perempuan inspiratif dibidang seni dan budaya. Prof. Anik Juwariyah saat ini menjabat Kaprodi S2 Pendidikan Seni Budaya UNESA dan aktif sebagai pembicara di forum internasional.
***
#profil #harikartini #CivitasAkademika #RumahParaJuara #2025 #UNESA #WorldClassUniversity #UNESASatuLangkahDiDepan #BersamaBisaBekerjasama #IndonesiaEmas2045 #UnityInDiversity
Penulis dan Foto : Rizky Amalina & Siti Saphrotul M.
Editor : Nando Pudjo
Share It On: